PENDIDIKAN-Sebagai dosen akuntansi yang sudah lebih dari lima belas tahun mengajar, saya sering mendengar keluhan yang sama dari para pengguna lulusan di dunia kerja. Mahasiswa yang nilai akademiknya terbilang bagus, tapi saat terjun ke lapangan, ternyata tak siap bekerja. Ironisnya, kadang-kadang akuntansi dasar saja belum mereka kuasai dengan baik. Bukan hanya mengecewakan bagi pengguna lulusan, tetapi bagi saya sebagai pengajar, ada rasa bersalah juga. Apa yang salah dengan sistem pendidikan akuntansi kita?
Dari pengamatan selama mengajar dan melihat perubahan kurikulum dari masa saya kuliah dulu, ada satu benang merah yang terlihat jelas, kurikulum sekarang makin ke sini makin hilang fokus dari inti akuntansi itu sendiri. Di masa lalu, mahasiswa akuntansi benar-benar dibekali dengan pelajaran inti yang solid. Tapi sekarang? Akuntansi tampak tenggelam dalam lautan ilmu-ilmu lain yang dimasukkan dalam kurikulum, mulai dari isu keberlanjutan, keterampilan manajerial, hingga teknologi yang menurut saya tak semua perlu dipahami mendalam oleh mahasiswa S1. Seperti sebuah restoran yang terus menambahkan menu baru tapi lupa mempertahankan resep utamanya, pendidikan akuntansi kini seakan kehilangan rasa khasnya.
Beban mata kuliah yang diharapkan fokus pada praktik dan analisis akuntansi justru terpinggirkan. Mahasiswa sekarang dijejali banyak mata kuliah baru, seolah-olah harus jadi multi-disipliner yang menguasai segala hal. Hasilnya? Mata kuliah inti malah banyak yang terpaksa dikorbankan, dipadatkan, atau bahkan digabung-gabung, mengakibatkan pembelajaran yang dangkal. Dan ini bukan cuma soal kurikulum, referensi yang digunakan pun sering kali terpecah dan tidak fokus. Dulu, ada satu atau dua buku inti yang jadi panduan belajar akuntansi. Kini, mahasiswa dihadapkan pada banyak buku dan referensi yang membuat mereka bingung dan kehilangan arah.
Kelengkapan isu terkini seperti perkembangan IT dan isu keberlanjutan memang penting, tapi sejauh mana ini benar-benar relevan bagi mahasiswa S1 yang nanti kebanyakan akan bekerja di level staf? Bukankah lebih bermanfaat kalau mereka diberi pemahaman praktis tentang perangkat lunak akuntansi dan audit yang akan langsung digunakan saat bekerja? Lagi pula, bukankah posisi manajerial yang lebih strategis baru akan mereka jalani setelah berkarier beberapa tahun dan memahami seluk-beluk akuntansi secara mendalam?
Mengusung ide multi-disiplin memang tidak salah, tapi ketika semua aspek baru dimasukkan tanpa filter yang jelas, kurikulum malah jadi semrawut. Akibatnya, mahasiswa akuntansi yang seharusnya jadi ahli di bidangnya, justru keluar dengan kemampuan yang tak siap kerja. Mereka punya banyak teori, tapi minim praktik yang benar-benar terpakai.
Mungkin sudah saatnya kita melakukan evaluasi mendalam terhadap kurikulum akuntansi dan kembali fokus pada esensi utamanya. Mengajarkan mahasiswa untuk benar-benar memahami akuntansi, menguasai perangkat lunaknya, dan siap bekerja sebagai staf yang andal harusnya jadi prioritas. Toh, untuk memahami isu-isu keberlanjutan, teknologi lanjutan, dan sebagainya, itu bisa dilakukan saat mereka sudah matang di lapangan kerja atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Jakarta, 28 Oktober 2024
Hidayat Kampai
Auditor Indonesia