KESEHATAN - Bayangkan ini, Pak Ridwan, seorang buruh tani, tiba-tiba jatuh sakit parah. Istrinya, Bu Siti, panik karena biaya ke rumah sakit sudah pasti bukan angka yang bisa mereka jangkau. Sebagai keluarga sederhana, sakit adalah momok besar; bukan cuma soal melawan penyakit, tapi juga soal melawan kemiskinan yang makin mencekik. Dalam kondisi seperti ini, rasanya absurd sekali membayangkan kesehatan yang katanya "hak dasar" malah seperti barang mewah.
Lalu, mari kita bicara tentang pendidikan, khususnya pendidikan dokter. Kita semua sepakat bahwa menjadi dokter adalah panggilan jiwa, bukan sekadar soal gengsi atau uang. Namun kenyataannya, pendidikan dokter di Indonesia mematok biaya yang bikin dahi mengernyit. Bayangkan, untuk menempuh pendidikan dokter, seseorang tak hanya butuh otak cemerlang, tapi juga kantong tebal! Jadi, buat mereka yang ingin jadi dokter namun tak punya "modal, " mimpi ini mungkin harus dikubur dalam-dalam.
Baca juga:
Sekda Barru Buka Kegiatan Kampanye Germas
|
Aneh rasanya, bukan? Seperti ada kontradiksi yang besar. Di satu sisi, konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945, menjanjikan pendidikan dan kesehatan sebagai hak dasar, tapi di sisi lain, kenyataan di lapangan berbanding terbalik. Harus pintar, harus kaya, dan kalau sakit? Harus siap-siap menipiskan dompet.
Jika pendidikan dokter hanya bisa diakses yang mampu, artinya kita ke depan akan punya dokter-dokter yang bukan karena panggilan, tapi karena privilese. Kalau sudah begini, bagaimana masyarakat bisa benar-benar merasa bahwa kesehatan adalah hak, bukan barang jualan? Bagaimana Pak Ridwan dan Bu Siti bisa merasa aman ketika sakit datang jika rumah sakit seolah hanya untuk mereka yang "mampu"?
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: apakah pendidikan dan kesehatan ini betul-betul hak rakyat atau sekadar lahan bisnis?
Jakarta, 29 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi